Beranda | Artikel
Jual Beli Murabahah, Jual Beli Muathah, Jual Beli Musharrah
Sabtu, 10 Januari 2015

JUAL BELI MURABAHAH

Oleh
Syaikh ‘Isa bin Ibrahim ad-Duwaisy

Yaitu menjual barang dengan harga modal aslinya dengan sedikit menambah harga sebagai keuntungan.

Maknanya ialah seorang penjual menjelaskan kepada si pembeli harga barang yang ia beli (harga modalnya), lalu ia minta kepada pembeli untuk sedikit memberi tambahan dari harga aslinya sebagai keuntungan dia.

Misalnya pemilik barang berkata, “Aku membeli barang ini dengan harga 1.000, berikan aku sedikit kelebihan dari harga aslinya, maka aku menjual barang ini kepadamu.” Jika si pembeli setuju, maka tidak apa-apa karena si pembeli mengetahui harga beli (modal) barang ini dari si penjual, lalu ia mengambil keuntungan tertentu darinya.

Syarat-syarat jual beli murabahah sebagaimana yang disebutkan ar-Ruhaili dalam kitab al-Fiqh al-Islami.

1. Mengetahui harga awal (modal).
Disyaratkan agar harga awalnya sudah diketahui oleh pembeli kedua, karena jelasnya harga merupakan syarat sahnya jual beli dan syarat ini mencakup seluruh jenis-jenis murabahah.

2. Mengetahui keuntungan (yang diambil oleh penjual).
Keuntungan yang diambil oleh penjual harus jelas, karena keuntungan adalah sebagian dari harga dan mengetahui harga adalah syarat sahnya jual beli.

3. Hendaklah barang yang menjadi modalnya termasuk barang yang mitsliyyat, seperti barang yang ditakar, ditimbang, dan dihitung secara bijian. Oleh karena itu, kejujuran dan amanah sangat diharapkan dalam jual beli ini. Si pembeli akan melihat keamanahan si penjual karena ia telah mempercayainya untuk itu.

Namun harus tetap waspada dari jual beli murabahah pada barang-barang yang ditakar dan ditimbang jika barang tersebut adalah barang yang sudah ditetapkan oleh nash sebagai barang yang mengandung unsur riba di dalamnya.

Misalnya, seorang pembeli membeli barang yang ditakar atau ditimbang dengan barang yang sejenis, tapi dengan sedikit tambahan/keuntungan, maka ini tidak boleh. Memberi tambahan kepada barang-barang yang telah di tetapkan oleh nash sebagai barang yang mengandung unsur riba, termasuk pekerjaan riba. Adapun jika jenis barang yang ditakar dan ditimbang itu berbeda, maka tidak ada larangan melakukan Murabahah.

JUAL BELI MU’ATHAH
Yaitu kedua belah pihak (penjual dan pembeli) yang melakukan akad masing-masing memberikan barteran (alat tukar) kepada yang lain. Si penjual memberikan barang kepada si pembeli dan si pembeli memberikan uang kepada si penjual, tanpa menyebutkan kata ijab qabul.

Maknanya yaitu kedua belah pihak yang melakukan akad sepakat atas harga barang dan jenisnya lalu keduanya saling memberikan kepada yang lain tanpa menyebut harga atau jenis barang. Dan hal tersebut telah menjadi kebiasaan di antara mereka berdua.

Misalnya, seorang pembeli mangambil barang dan membayar harganya kepada pemiliknya tanpa ada pembicaraan ataupun isyarat.

Catatan Penting:
Jual beli seperti ini banyak terjadi di pusat-pusat perbelanjaan, seperti si pembeli mengambil berbagai jenis barang yang sudah dituliskan harga di atasnya, lalu ia mengambil barang-barang tersebut dan membayarnya tanpa menanyakan harganya.

Para ulama dari kalangan Malikiyyah dan Hanabilah menyebutkan tentang sahnya jual beli mu’ahtah ini, selama hal itu menjadi kebiasaan masyarakat setempat, sehingga menunjukkan adanya keridhaan dari kedua belah pihak (penjual dan pembeli).

Adapun ulama dari kalangan Syafi’iyyah mensyaratkan sahnya akad ini dengan menyebutkan lafazh-lafazh (ijab qabul) yang jelas atau dengan tulisan. Dan mereka berkata, “Jual beli ini tidak sah (tanpa adanya lafazh yang sharih (jelas) atau tulisan yang menunjukkan ijab qabul-penj).

Imam an-Nawawi dan al-Baghawi menyebutkan tentang sahnya jual beli ini.

Saya (penulis) pribadi lebih condong kepada pendapat yang menyatakan sahnya jual beli ini, karena manusia terbiasa melakukan ini di mana si pembeli mendapatkan harga barang tertulis pada barang tersebut, lalu ia mengambilnya dan membayar harganya dengan keridhaannya untuk mengungkapkan bahwa ia menerima hal tersebut. Jual beli seperti ini sudah pernah dilakukan sejak dahulu di mana manusia melakukan jual beli mu’athah di pasar-pasar mereka dan belum pernah dinukil bahwa ada orang mengingkarinya. Wallaa-hu a’lam.

JUAL BELI MUSHARRAH
Yaitu si penjual menahan susu yang ada pada binatang ternak untuk menimbulkan kesan bahwa binatang tersebut memiliki banyak susu (sehingga harganya menjadi mahal).

Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abi Hurairah Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda:

لاَ تُصِرُّوا اْلإِبِلَ وَالْغَنَمَ فَمَنِ ابْتَاعَهَا بَعْدُ فَهُوَ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ بَعْدَ أَنْ يَحْلُبَهَا: إِن ْشَاءَ أَمْسَكَهَا وَإِن ْشَاءَ رَدَّهَا وَصَاعًا مِنْ تَمْرٍ.

“Janganlah kalian menahan susu unta dan kambing (agar kelihatan gemuk). Barangsiapa membeli binatang tersebut dan setelah diperah susunya (ternyata kelihatan tidak gemuk), maka ia boleh memilih dua pilihan yang terbaik, ia boleh memilikinya atau mengembalikannya dengan tambahan kurma satu sha’.”[1]

Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan:

فَهُوَ بِالْخِيَارِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ.

Maka ia (si pembeli) boleh menentukan pilihan selama tiga hari.

Hadits ini berisi larangan melakukan peni-puan dengan cara membiarkan susu pada binatang ternak ketika ingin menjualnya sehingga susu terlihat banyak di kelenjar susu binatang tersebut, lalu si pembeli mengira bahwa binatang itu memang selalu mengeluarkan banyak susu. Larangan ini mengharuskan adanya pengharaman. Untuk mencegah terjadinya perselisihan antara penjual dan pembeli, maka hadits datang untuk memberikan solusinya yaitu:

فَهُوَ بِالْخِيَارِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ.

Maka ia (si pembeli) boleh menentukan pilihan selama tiga hari.”

Imam al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda:

لاَ تُصِرُّوا اْلإِبِلَ وَالْغَنَمَ فَمَنِ ابْتَاعَهَا بَعْدُ فَهُوَ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ بَعْدَ أَنْ يَحْلُبَهَا: إِنْ شَاءَ أَمْسَكَهَا وَإِنْ شَاءَ رَدَّهَا وَصَاعًا مِنْ تَمْرٍ.

Janganlah kalian menahan susu unta dan kambing (agar terlihat gemuk). Barangsiapa yang membeli binatang tersebut dan setelah diperah susunya (ternyata kelihatan tidak gemuk), maka ia boleh memilih dua pilihan yang terbaik, yaitu ia boleh memilikinya terus atau mengembalikannya dengan tambahan kurma satu sha’.

Dengan demikian si pembeli berhak untuk menolak musharrah (binatang yang sengaja digemukkan dengan cara menahan susunya) karena hal itu termasuk gharar berupa penipuan. Walaupun demikian, ia berhak untuk menentukan pilihan, antara memilikinya atau mengembalikannya. Ia berhak memilih yang terbaik dari dua pilihan yang sudah disebutkan tadi, dan jual belinya menjadi sah. Ia tetap berhak untuk memilih dengan pilihan yang sudah disebutkan meskipun ia mengetahui dari si penjual bahwa binatang tersebut memang sengaja digemukkan, baik ia mengetahuinya sebelum memerah susu ataupun setelahnya. Jika ia ingin tetap terus memilikinya, maka dengan harga lama yang sudah disepakati. Adapun jika ia ingin mengembalikan binatang tersebut kepada si penjual, maka ia boleh mengembalikannya dengan syarat harus memberikan satu sha’ kurma kepada si penjual sebagai ganti susu yang ada di kelenjar hewan tersebut yang sudah ia perah. Dan inilah madzhab jumhur ulama.

Adapun al-Ahnaf (Hanafiyyah), mereka berpendapat bahwa si pembeli boleh mengembalikan hewan yang dibelinya, tanpa harus memberikan sesuatu apa pun kepada si penjual. Susu yang telah diambil menjadi milik si pembeli sebagai pengganti dari dana yang sudah ia keluarkan untuk memberi makanan hewan tersebut.

Pendapat yang saya lebih condong kepadanya ialah apa yang telah datang dalam hadits di muka. Hadits tersebut dengan tegas menyebutkan bahwa apabila ia (si pembeli) ingin mengembalikan hewan tersebut, maka ia harus mengembalikannya dengan memberikan satu sha’ kurma kepada si penjual sebagai imbalan dari susu yang diperahnya. Jika ia ingin terus memilikinya, maka ia cukup membayar dengan harga yang sudah ia serahkan kepada si penjual.

[Disalin dari Kitab Al-Buyuu’: Al-Jaa-izu minhaa wa Mamnuu’ Penulis Syaikh ‘Isa bin Ibrahim ad-Duwaisy, Judul dalam Bahasa Indonesia Jual Beli Yang Dibolehkan Dan Yang Dilarang, Penerjemah Ruslan Nurhadi, Lc, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir Bogor, Cetakan Pertama Muharram 1427 H – Februari 2006 M]
_______
Footnote
[1]. Satu sha’ adalah empat mudd atau sekitar 2,175 kg.-pent.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/4042-jual-beli-murabahah-jual-beli-muathah-jual-beli-musharrah.html